" PHOTOGRPHY "
Sejarawan dan ilmuan kesehatan Indonesia
1. Prof. Dr. H. Taufik Abdullah
Lahir
3 Januari 1936 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia memperoleh sarjana dalam
bidang sejarah dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada
(UGM), Yogyakarta (1962), lalu ia melanjutkan ke Cornell University, Amerika
Serikat dan memperoleh Ph.D dalam bidang Sejarah Asia Tenggara (1970) dengan
disertasi “Schools and Politic: The Kaum Muda Movement in West Sumatera,
1927-1933” (1971). Ia peneliti Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI); Guru besar sejarah UGM, Yogyakarta; ia pernah menjadi Ketua
LIPI (2000-2002); Ketua umum Himpunan Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial
(HIPIIS); sejak (1996-2003) menjadi Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Ia juga sebagai visiting Research Scholar di The Center for Southeast Asian
Studies (CSEAS), University of Kyoto, Jepang, 1989-1990; di Departement
of History, University of Wisconsin, Madison, USA (1975), tahun 1997 ia
mengambil Post Doctoral Fellow di Departement of Political Science,
University of Chicago.
Banyak
menulis di berbagai jurnal tentang sejarah, sosial dan sastra, dan
karyanya antara lain: Sejarawan dan Kesadaran Sejarah (Jakarta:
Leknas-LIPI), 1971); Sebagai editor Sejarah Lokal di Indonesia
(Yogyakarta: GM Press,1990); Islam dan Masyarakat, (Jakarta: LP3ES,
1990); bersama Dr M Hisyam (ed. Dkk.) Sejarah Umat Islam Indonesia,
(Jakarta: MUI dan Y Pustaka Umat, 2003); Indonesia: Towards Democracy (2007);
Sejarah dan Dialog Peradaban (Penghargaan 70 Tahun Prof. Taufik
Abdullah), (Jakarta: YOI, 2006).
Dalam
Islam dan Masyarakat ini Taufik mengulas pandangan asing mengenai Islam
di Minangkabau pada masa kolonial. Sejak pertengahan abad ke-19 telah banyak
usul agar pendidikan Belanda disebarkan di Sumatra Barat. Dengan pendidikan Barat
Islam yang negatif, bagi Belanda, dapat dinetralisir. Oleh karena itu 1850-an
didirikanlah Sekolah Raja di Bukittinggi.
Ketakutan
Belanda pada kekuatan Islam tidak hanya berdasarkan pengalaman perang Paderi
dan pemberontakan-pemberontakan yang sporadis. Kekhawatiran ini berdasar
pengamatan asisten residen Verkerk Pistorius tentang pengaruh ulama. Ada dua
hal yang dilihatnya: pertama, pengaruh surau, mulai dari mengaji Qur’an sampai
tingkat pesantren, sangat besar. Kedua, di tempatnya memerintah harta pusaka
dibagi dua golongan besar 1. Berdasar ketentuan adat, dan 2. Harta pencarian,
berdasar hukum Islam.
Oleh
karena itulah ketelitian dan kecermatan dalam pengamatan dibutuhkan. Perbaikan
metodologi terus dilakukan. Walaupun tujuannya untuk memperkuat kekuasaan
kolonialis, namun banyak hasil penelitian mereka yang bermutu
ilmiah. Mereka umumnya ahli bahasa yang memiliki perhatian
pada etnologi dan sejarah. Pandangan politik mereka liberal. Dicatat, beberapa
sarjana Belanda menuliskan laporannya mengenai Minangkabau, di antaranya
tentang perkembangan sekolah Islam, ada yang perlu dicurigai dan tidak.
Sumber : https://luaydpk.wordpress.com/2011/10/23/sejarawan-dan-karyanya/
2. Asvi Warman Adam
Lahir 8 Oktober
1954 di Bukittinggi. Menempuh pendidikan Sarjana (muda) sastra Perancis di UGM
Yogyakarta tahun 1977, dan sarjana sastra Perancis di Universitas Indonesia
(UI) tahun 1980. Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI ini
pernah bekerja sebagai wartawan di majalah Sportif sebelum masuk
LIPI tahun 1983. Taun 1984 belajar pada EHESS (Ecole des Hautes Etudes on
Sciences Sociales) Paris sampai tahun 1990. Antara tahun 1984-1986 ia
menjadi lektor bahasa dan sastra Indonesia pada Institut National des
Langues et Civilations Orientales, Universite de la Sorbonne Nouvelle,
Paris III. Lulus doktor sejarah dari EHESS tahun 1990 dengan disertasi tentang
hubungan Hindia Belanda dengan Indochina pada era kolonial “Les
Relations Centre les Indes Neederlandaises et l’Indochine 1870-1914” di
bawah bimbingan Prof. Denys Lombard.
Tahun 1990
menjadi peneliti di LIPI tentang masalah Vietnam, Kamboja, dan ASEAN. Sejak
tahun 1998 banyak menulis tentang rekayasa sejarah Orde Baru dan historiografi
Indonesia. Menjadi pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) sejak tahun
1996. Juga mengikuti Visiting Fellow pada KITLV Leiden tahun 2005.
Karyanya antara
lain: “Pengendalian Sejarah sejak Orde Baru” dalam Henri Chambert-Loir dan
Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Denys
Lombard (Jakarta:EFEO-PPAN-YOI, 1999); Pelurusan Sejarah Indonesia
(Yogyakarta: Ombak, 2004); Seabad Kontroversi Sejarah (Yogyakarta:
Ombak, 2007); Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan
Peristiwa (Jakarta: Kompas, 2009); Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?,
(Jakarta: Kompas, 2010).
Dalam buku Pelurusan
Sejarah Indonesia Asvi menulis bahwa “Istilah “pelurusan sejarah” sangat
populer sejak berhentinya Soeharto menjadi presiden dan merosotnya kekuatan
Orde Baru. Ada juga beberapa orang yang kurang setuju dengan istilah tersebut.
Apakah sejarah bisa diluruskan, demikian pertanyaan mereka. Perdebatan ini
tentu bersumber dari perbedaan pengertian tentang sejarah”.
Sejarah dibagi
dua: Pertama, sejarah sebagai peristiwa yang dilakukan, dan kedua, sejarah
sebagaimana diceritakan. Maka pelurusan sejarah menyangkut aspek sejarah
sebagaimana yang diceritakan. Yang pertama memang tidak dapat direvisi, namun
revisi pada yang kedua adalah suatu hal yang wajar.
Lebih lanjut ia
menulis, “Jadi memang wajar bila sejarah itu mengalami revisi dan penulisan
ulang dari waktu ke waktu. Tetapi pada rezim Orde Baru yang terjadi adalah
sesuatu yang tidak normal. Sejarah dimanfaatkan untuk kepentingan politik
penguasa dan rezim, contoh yang nyata adalah penjelasan sejarah Gerakan 30
September 1965 yang diizinkan hanya versi tunggal yang dilakukan oleh pemerintah.
Di dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Setneg, dicantumkan secara tegas
bahwa itu pemberontakan PKI”.
Mengenai
peristiwa September 1965 ada banyak versi, berkaitan dengan siapa pelakunya.
Sumber
: https://luaydpk.wordpress.com/2011/10/23/sejarawan-dan-karyanya/
3. Prof.
Dr. Gerrit A. Siwabessy
Lahir di Ullath, Saparua, Maluku Tengah pada 19
Agustus 1914, Siwabessy berhasil menyelesaikan pendidikannya di MULO di kota
Ambon pada 1931. Kemudian Siwabessy menerima beasiswa untuk meneruskan
pendidikan kedokteran ke NIAS, Surabaya.
Menjelang kedatangan Jepang, Siwabessy bekerja
sebagai dokter di pusat pengeboran perusahaan minyak Belanda BPM di Cepu, Jawa
Tengah. Kemudian di zaman Jepang memimpin bagian Radiologi dan Bagian Paru-paru
Rumah Sakit Simpang, Surabaya.
Setelah kemerdekaan RI, Siwabessy makin giat lagi
dalam kegiatan organisasi kebangsaan dan di tahun-tahun inilah ia dipertemukan
dengan banyak tokoh penting nasional.
Di tahun 1949, Siwabessy melanjutkan pendidikan
di bidang radiologi setelah sebelumnya mendapat brevet sebagai ahli radiologi.
Siwabessy berhasil mendapatkan beasiswa untuk studi lanjutan di London. Hal-hal
pokok yang dipelajari mencakup radiologi, radioterapi, dan pengetahuan dasar
bidang atom.
Saat memperdalam bidang radiologi itu, Siwabessy
banyak berkenalan dengan para ahli atom dari bidang terkait, seperti fisika nuklir,
kimia, biologi, fisika-radiasi, kimia-radiasi, biologi radiasi, dan
radioterapi. Selain itu Siwabessy juga melihat bahwa pengobatan kanker di
London sudah banyak menggunakan hasil penemuan dan penyinaran atom. Hal-hal
inilah banyak memberi wawasan baru yang kelak kemudian hari diterapkan di
Indonesia.
Di era 1950an Amerika Serikat meledakkan bom
hidrogen di kawasan Pasifik. Khawatir terhadap dampak percobaan bom nuklir
tersebut bagi Indonesia, Presiden Soekarno menunjuk Lembaga Radiologi
Departemen Kesehatan yang dipimpin oleh Siwabessy untuk mengatasi masalah ini.
Pada 1954, dibentuklah Panitia Penyelidikan Radioaktivitas dan Tenaga Atom yang
diketuai Siwabessy.
Pada 1958 itu juga Siwabessy membentuk Lembaga
Tenaga Atom yang berada di bawah Sekretariat Negara dan Siwabessy sebagai
direkturnya. Selain itu negara juga memandang perlu agar didirikan fakultas
yang mempelajari ilmu dasar di bidang fisika, kimia dan matematika untuk
menghasilkan tenaga ahli. Lagi-lagi Siwabessy ditunjuk pemerintah untuk mewujudkannya.
Sebagai pendiri Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia,
Siwabessy ditunjuk sebagai Dekan FIPIA UI pertama (1963-1965). Tahun 1964 Presiden Soekarno meresmikan berdirinya
Badan Tenaga Atom Nasional dengan Siwabessy sebagai Direktur jenderal BATAN
pertama. Pada 1965 ia diangkat sebagai Menteri Badan Tenaga Atom Nasional.
Sumber : https://www.halodoc.com/ketahui-4-pahlawan-bidang-kesehatan-di-indonesia
lahir 13 Agustus 1889 di Purwodadi, Kawedanan Magetan, Karisidenan Madiun, Jawa Timur. Dia adalah dokter lulusan Stovia (sekolah kedokteran zaman kolonial Belanda) pada 1915. Sang ayah yang berprofesi sebagai guru, berhasil menginspirasi Sardjito untuk berjuang di dunia pendidikan Indonesia. Lulus dari Stovia, ia bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Jakarta selama lebih kurang satu tahun, lalu pindah ke Institut Pasteur Bandung sampai 1920. Jiwa Sardjito sebagai seorang peneliti berkembang ketika ia mengikuti tim penelitian khusus influenza di Institut Pasteur. Pada waktu itu, influenza menjadi momok bagi masyarakat. Sebagai seorang dokter, Sardjito telah mencatat penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi masyarakat, di antaranya, obat penyakit batu ginjal (Calcusol), dan obat penurun kolestrol (Calterol). Ia menekankan agar kedua obat tersebut tidak dijual mahal.
Selain menciptakan obat-obatan itu, ia juga menciptakan vaksin anti penyakit infeksi untuk Typus, Kolera, Disentri, Staflokoken dan Streptokoken. Ia merupakan peneliti yang menggunakan pendekatan multidisipliner. Hal itu dibuktikan dengan karyanya berjudul "The Occurence in Indonesia of Two Diseases Rhinoscleroma and Bilharziasis Japonica Whose Spread is Rooted Deep in the Past". Karya ini dilakukan bersama ahli Paleoantrophologi G.H.R von Koenigswald.
Sebagai lulusan sekolah kedokteran, Sardjito juga aktif dalam organisasi dan gerakan kemahasiswaan. Sardjito pernah menjadi Ketua Budi Utomo Cabang Jakarta. Peran Sardjito untuk dunia pendidikan terbukti kala Proklamasi 1945. Belanda dengan membonceng Sekutu kembali datang ke Indonesia dan menyerbu beberapa wilayah. Pertempuran hebat berkecamuk antara pejuang kemerdekaan dengan tentara Belanda di banyak wilayah RI.
Untuk menyelamatkan aset pendidikan dari pertempuran, Sardjito menyelundupkan buku-buku dari Institut Pasteur ke Klaten dan Solo. Selain itu, masih pada masa perang kemerdekaan, Sardjito berjasa mengobati para pejuang kemerdekaan. Sardjito membantu menyediakan obat-obatan dan vitamin bagi prajurit. Selain itu, Sardjito juga membangun pos kesehatan untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Yogyakarta dan sekitarnya. Pada 1949, Sardjito diangkat menjadi Rektor Universitas Negeri Gadjah Mada atau yang sekarang lebih dikenal dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Seiring dengan perjalanan karirnya membangun Universitas Gadjah Mada, Sardjito mendirikan pula Universitas Islam Indonesia (UII). Selain dikenal sebagai sosok dokter yang mengobati para tentara Indonesia yang terluka saat bertempur, Sardjito juga dikenal sebagai pelopor pembuat biskuit untuk tentara Indonesia di masa perang. Biskuit tersebut kemudian dikenal luas dengan nama Biskuit Sardjito. Pasca kemerdekaan, Sardjito menginisiasi Colombo Plan yang merupakan program restorasi pasca-Perang Dunia II, yang memperkenalkan Indonesia kepada dunia Internasional, sebagai negara merdeka dari penjajahan bangsa manapun.
Sumber : https://rri.co.id/humaniora/sosok/744725/prof-dr-sardjito-sosok-dokter-ilmuwan-dan-pejuang-pendidikan
5. Des
alwi abubakar
Lahir
17 November 1927 di Banda Naire dan meninggal 12 November 2010 di Jakarta.
Lulusan British Institute of Technology, London, 1947-1950, Philip NSF Advence
School Hilversum, Januari-Juli 1950, dan Spesial Antena Penyiaran Rombek ITB
dan PT (Pos, Telegraph dan Telepon), 1951. Seorang pejuang, pelaku sejarah
bangsa, penyelam laut banda, sinematografer dan pencinta kebun pala dan
lingkungan (sehingga UNESCO menamakan karang baru yang ditemukan di banda naira
sebagai “Akrolpora Des Alwi” tahun 1994).
Karyanya:
Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, (Jakarta: Dian
Rakyat, 2005).
Buku
Alwi mengungkap mengenai wilayah Indonesia bagian timur, yaitu kepulauan Banda,
Ternate, Tidore dan Ambon. Diawali dengan tahun 1614, 1720, 1810, 1891 ketika
terjadi letusan gunung berapi, dan letusan terakhir terjadi pada 8 Mei 1988.
Wilayah cakupan bagian Indonesia timur yang cukup luas yang terdiri dari
beberapa pulau, yang kurang mendapat perhatian selama ini. Terutama ketika
kekuasaan sentralistik pada masa baru lalu. Buku ini bukan saja mendeskripsikan
tentang keadaan alam dan para penjajah yang menjarah rempah-rempah di kepulauan
ini, namun juga mengisahkan tokoh-tokoh nasionalis seperti Bung Hatta, Syahrir,
Iwa Kusuma Sumantri dan Tjipto Mangunkusumo, ketika mereka dibuang ke pulau
itu.
Sumber : https://luaydpk.wordpress.com/2011/10/23/sejarawan-dan-karyanya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar