Jumat, 22 Mei 2020

FOTO DAN BIOGRAFER NASIONAL JURNALISTIK DAN OLAHRAGA

FOTO DAN BIOGRAFER NASIONAL
JURNALISTIK DAN OLAHRAGA


1. Darwis Triadi 



Andreas Darwis Triadi adalah fotografer yang terkenal paling berpengalaman di Indonesia. Darwis mulai merintis karirnya dalam dunia fotografi sejak tahun 1979. Kemampuannya sebagai fotografer professional sudah tidak di ragukan lagi. Prestasinya yaitu, ia dapat menunjukkan hasil karya fotografinya pada majalah tahunan Hasselblad.

Di awali pada tahun 1980 dari foto untuk brosur Hotel Borobudur dengan bayaran sebesar Rp 50.000, perjalanannya semakin dikenal karena berani menampilkan sesuatu yang berbeda. Tahun 1981 Darwis bersama para fotografer amatir memamerkan hasil karyanya. Rekan-rekan fotografernya memajang bermacam-macam foto bertemakan lanskap dan humanis, Darwis kala itu memajang foto beberapa model dan peragawati. Para pengunjung kaget sekaligus kagum. Tetapi tidak sedikit orang juga yang menyebut Darwis sebagai fotografer yang tidak tahu teknik foto serta menentang arus.
Tahun 1990 dia diberi kepercayaan untuk menampilkan karyanya di majalah tahunan yang berskala internasional Hasselblad. Dalam waktu yang bersamaan, ia sempat mempresentasikan slide andalannya dalam acara Photo Kina International Competition di Kohn, Jerman. Majalah Vogue yang juga berskala internasional memajang karyanya pada artikel spesial tentang Indonesia. Produsen lampu Broncolor, Bron Elektronik AG dari Swiss, juga memilihnya untuk mengisi kalender Broncolor tahun di 1997

Karya Darwis di bidang fotografi juga bisa di lihat dari berbagai macam foto produk-produk untuk iklan dari berbagai produsen besar seperti Nokia, Philips, BCA, Permata Bank, Satelindo, Indofood,Sony Ericsson, Telkom, PT. Unilever, Bank Mandiri, Mustika Ratu, Sari Ayu, Warner Music, Aquarius Music, Sony Music. Darwis juga telah menghasilkan karya berupa buku mengenai fotografi seperti Kembang Setaman, Secret Lighting dan Terra Incognita Tropicale. Juga majalah Indonesian Photographer.

Darwis sering membuat seminar, dan workshop tentang fotografi. Dia juga telah mendirikan lembaga pendidikan fotografi di Jakarta Selatan. Dan memiliki studio Darwis Triadi Photography, dia juga membuka sekolah yang diberi nama Darwis Triadi School of Photography. Sebuah tempat yang merupakan salah satu impian dari Darwis, agar fotografi menjadi lebih terbuka.










http://www.darwistriadischoolofphotography.com/OUR-INSTRUCTORS_1035_22/Darwis-Triadi.html



2. Enny Nuraheni




ibu dari Andra (18) dan Cantyka (15), memulai perjalanannya di dunia fotografi dengan membantu kakak iparnya yang memiliki studio foto Tanzil. Selama lima tahun ia memotret untuk dokumentasi dan membantu iparnya mencetak foto di kamar gelap. Kebutuhannya untuk mencari tantangan baru lah yang menyebabkan ia berhenti dari sana. Setelah lulus dari ABA (Akademi Bahasa Asing) tahun 1986, Enny lalu melamar pekerjaan ke biro Reuters Jakarta yang sedang membuka lowongan untuk posisi fotografer. Kala itu ia tidak mengerti caranya melamar pekerjaan. Dengan hanya bermodalkan kamera, ia nekat datang ke kantor Reuters. Daftar riwayat hidup (CV) tak ia bawa, apalagi membuat janji wawancara. Di tahun 80-an kaum pria masih mendominasi dunia fotografi. Bahkan, hanya ada dua fotografer wanita saat itu. Maka Enny sempat kaget saat pertama kali ia turun ke lapangan. Untuk mendapatkan foto ia harus berdesak-desakkan dengan pria yang notabene lebih besar dan kuat. Tak heran jika foto pertamanya gagal karena goyang. Namun, berkat pengalaman ini Enny bertekad untuk selalu fight dan tidak kalah dengan para fotografer pria.

Selama 15 tahun pengabdiannya sebagai fotografer, Enny banyak mendapatkan pengalaman unik. Ia pernah dimaki-maki petugas keamanan, tidur bergantung dihammock, tidak mandi berhari-hari di daerah bencana, hingga diberondong peluru. Namun, satu hal yang kerap membuatnya pusing adalah menembus birokrasi pemerintah. Apalagi saat sebelum reformasi, intelijen dan keamanan adalah dua pihak yang sulit untuk ditembus wartawan. Semenjak tahun 1993, satu minggu sebelum melahirkan anak kedua, Enny merekrut staf baru untuk Reuters. Sedang di 1998 ia mulai membuat jejaring di daerah. Saat ini, ia memiliki 5 anak buah di Jakarta (2 staf dan 3 stringer/kontributor, semuanya pria) dan puluhan stringer di berbagai ibukota provinsi di seluruh Indonesia.



 







Sumber : http://dwiakram.blogspot.com/2013/05/kisah-enny-nuraheni-fotografer-jurnalis.html

3. Peksi cahyo

 

Fotografi olahraga memang sedikit berbeda dari foto jurnalistik pada umumnya. Ia dibatasi ruang dan waktu, entah itu 2x45 menit di lapangan sepak bola atau 4x10 menit di lapangan basket yang berukuran lebih kecil. Dalam batasan-batasan itu, para fotografer harus menangkap gerak dan momen yang terkadang muncul hanya sepersekian detik. Sedikit saja lengah bisa berarti ‘petaka’.

Peksi berpendapat, bentuk arena apapun hanya bisa ditaklukkan melalui kesabaran karena tak ada yang bisa memprediksi momen yang akan terjadi. Bagi Peksi, pekerjaan fotografer olahraga bahkan hampir sama dengan atlet itu sendiri. Selain butuh kesabaran, juga perlu daya tahan yang kuat karena harus memiliki konsentrasi dan fokus yang baik.

Selanjutnya, masih menurut Peksi, penting untuk mensinkronisasi gambar yang ingin didapat dengan proses kreatif. Caranya dengan mempelajari perilaku sang pemain, paham tata letak stadion, memilih sudut tepat, hingga pemilihan lensa.

Satu hal lain yang tak kalah penting adalah riset.

"Perlu, karena mengamati perilaku orang, mulai dari di dalam lapangan sampai penonton, atau perilaku The JakMania dengan suporter Persib, itu berbeda. Antara SM (Satria Muda) dan Aspac beda. Hal itu mesti dipelajari kalau benar-benar mau memadukan hati dan kepala," ucap Peksi yang berbincang dengan CNNIndonesia.com akhir pekan lalu.

Peksi mengawali kariernya sebagai foto jurnalis. Namun, pada 2003, ia memantapkan hati terjun di fotografi olahraga dengan bergabung Tabloid Bola. Itu pun terjadi secara tidak sengaja. Saat itu Peksi yang merupakan fotografer Sinar Harapan, merasa berada di titik yang memaksanya untuk mengembangkan diri.  Peksi sebenarnya sudah sampai pada tahap wawancara di kantor berita EPA (European Pressphoto Agency). Namun di tengah jalan, dia mendapatkan panggilan dari Tabloid Bola. Ia pun mengubah pilihan.






Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170504152522-25-212298/peksi-cahyo-dan-tiga-rahasia-fotografi-olahraga


4. Erik Prasetya



Selepas SMA di Padang, ia melanjutkan kuliah di ITB teknik perminyakan dan lulus dengan nilai yang menurutnya tidak begitu memuaskan. Pun demikian, Erik sempat menggunakan gelar akademiknya sebagai engineer di sebuah perusahaan oil services namun tidak membuatnya betah. Ia banting stir menjadi wartawan tulis di Majalah Mingguan Mutiara (Sinar Harapan) sebelum akhirnya menjadi fotografer lepas untuk Majalah Mingguan Tempo.


Lagi-lagi Erik tidak bisa lari dari takdirnya. Sebab, menjadi wartawan tulis dirasakan kurang produktif dan tidak sreg. Kerapkali ia perlu waktu lama untuk sekedar menulis satu atau dua artikel. Akhirnya ia mulai serius memotret kembali dan menemukan sensasi menekan shutter yang sudah ia rasakan sejak umur 10 tahun. Beberapa jepretannya ia kirimkan untuk majalah Tempo dari foto tunggal atau esai foto.


Selain sebagai fotografer lepas di Tempo, ia tetap memotret apa saja untuk mengamankan kebutuhan finansial sehari-hari. Itu ia lakukan dengan tetap memotret pernikahan, iklan atau pabrik. Sampai pada suatu titik ia bosan karena sebatas rutinitas saja dan sekedar kompromi dengan selera klien. Berbekal ambisi dan insting fotografi, ia mulai memotret perubahan Tahmrin-Sudirman sejak tahu 1990. Ia tidak bakal menyangka bakal menjadi proyek super panjang hingga 20 tahun kemudian. Buku tersebut kemudian berlanjut dalam seri yang beragam namun masih dalam seri streetphotography. Beberapa dibuat lebih mudah dengan seri tutorial atau tips dan trik memotret jalanan.





Sumber : https://inet.detik.com/fotostop-news/d-2948327/erik-prasetya-sang-pelopor-streetphotography-tanah-air


5.  Arbain Rambey




Pria dengan rambut cepak dan kaca mata berbingkai hitam ini sudah tidak diragukan lagi kemampuan menulis dan fotografi. Lahir di Semarang, 2 Juli 1961, Arbain Rambey mulai memotret pada tahun 1977 bersama teman-temannya di SMA Loyola 1, Semarang. Mengenyam pendidikan yang tidak berhubungan dengan dunia jurnalistik. Arbain lulus dan menjadi sarajana Teknik Sipil dari Institut Teknologi Bandung tahun 1988.

Setelah lulus, Arbain bekerja sebagai reporter dan fotografer. Keahliannya dalam bidang fotografi juga lah yang mengantarkan ia menjadi redaktur foto Kompas menggantikan Kartono Riyadi pada tahun 1996.

Arbain yang merupakan anak tunggal lahir dan tumbuh di Semarang dan tinggal bersama bibinya karena kedua orang tuanya harus bekerja. Ketertarikan Arbain dalam dunia fotografi rupanya sudah terlihat sejak masa kanak-kanak. Sejak umur 5 tahun, Arbain mulai tertarik dengan album foto, membolak-balik album foto menjadi kegemaran Arbain kecil pada saat itu. Pada usia 13 tahun Arbain sudah menguasai teknik cuci dan cetak foto hitam putih. Kamera pertamanya bermerek Ricoh dengan tipe 500 GX ia dapatkan pada tahun 1977.

Sebagai wartawan fotografer handal, Arbain tentunya memiliki segudang prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa prestasi yang telah diperoleh Arbain, antara lain Juara Tunggal Festival Seni Internasional Art Summit 1999, memenangkan medali perunggu 2 tahun berturut-turut pada Lomba Salon Foto tahun 2006 dan 2007, serta Juara 1 lomba foto MURI tahun 2008.

 Arbain juga pernah beberapa kali mengadakan pameran foto, seperti Ekspresi (Medan, 2002), Mandailing (Medan, 2002), Senyap (Bentara Budaya, Jakarta, 2004), Colour of Indonesia (Galeri Cahaya, Jakarta, 2004), Crossing Bridges (Singapura, 2004), Persatoen (Melbourne, 2005), Nusantara (bersama Makarios Soekojo) (Hotel Aston, Jakarta, 2006).

Kegiatan Arbain sekarang lebih banyak berupa mengajar. Ia mengajar di beberapa universitas swasta di Jakarta seperti Universitas Pelita Harapan, Universitas Media Nusantara, dan Darwis School of Photography. 

Ketika duduk di bangku SMA, Arbain Rambey mengikuti berbagai kegiatan pecinta alam. Ia gemar mendaki gunung bersama teman-temannya. Saat itu, ia kurang puas melihat foto hasil jepretan teman-temannya. Akhirnya ia yang kemudian banyak memotret sambil mendaki gunung. Setelah lulus SMA, Arbain melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kala itu ia punya hobi lain, yaitu jalan-jalan. Dari situlah ia mulai lebih banyak memotret meskipun hanya memakai kamera orang. “Kameraku jelek waktu itu,” tuturnya.

Tahun 1988, setelah lulus kuliah, Arbain mulai bekerja di Papua. Sebulan setelah bekerja, ia membeli kamera pertamanya, Nikon F-301 dengan lensa 3515, seharga Rp 750.000. Masih diingatnya toko tempat ia membeli kamera itu, yakni di Niaga Foto Bandung. Selama di Papua, teman-temannya sering jalan-jalan. Semua kegiatan jalan-jalan ia abadikan dengan kamera itu. Hingga kemudian hasil fotonya mrndapat komentar positif oleh seorang wartawan Tempo saat Arbain berkesempatan pameran di Eropa dan Amerika. “Kamu bukan insinyur, tapi fotografer,” komentar wartawan tersebut.

Itu adalah kali pertama ada orang yang mengatakan fotonya bagus. Profesinya sebagai insinyur pun menurutnya tidak cukup baik. Hal itu mendorongnya untuk melamar menjadi fotografer di harian Kompas pada tahun 1990. Diterima di Kompas, Arbain dibimbing oleh para senior yang banyak membawa kemajuan dalam karirnya.





 

FOTO DAN BIOGRAFER NASIONAL JURNALISTIK DAN OLAHRAGA

FOTO DAN BIOGRAFER NASIONAL JURNALISTIK DAN OLAHRAGA 1. Darwis Triadi  Andreas Darwis Triadi adalah fotografer yang ter...