FOTO
DAN BIOGRAFER NASIONAL
JURNALISTIK
DAN OLAHRAGA
1. Darwis Triadi
Andreas Darwis Triadi adalah fotografer yang terkenal paling berpengalaman
di Indonesia. Darwis mulai merintis karirnya dalam dunia
fotografi sejak tahun 1979. Kemampuannya sebagai fotografer professional sudah
tidak di ragukan lagi. Prestasinya yaitu, ia dapat menunjukkan hasil karya
fotografinya pada majalah tahunan Hasselblad.
Di awali pada tahun 1980 dari foto untuk brosur Hotel Borobudur dengan bayaran sebesar Rp 50.000, perjalanannya semakin dikenal karena berani menampilkan sesuatu yang berbeda. Tahun 1981 Darwis bersama para fotografer amatir memamerkan hasil karyanya. Rekan-rekan fotografernya memajang bermacam-macam foto bertemakan lanskap dan humanis, Darwis kala itu memajang foto beberapa model dan peragawati. Para pengunjung kaget sekaligus kagum. Tetapi tidak sedikit orang juga yang menyebut Darwis sebagai fotografer yang tidak tahu teknik foto serta menentang arus.
Tahun 1990 dia diberi kepercayaan untuk menampilkan karyanya di majalah tahunan yang berskala internasional Hasselblad. Dalam waktu yang bersamaan, ia sempat mempresentasikan slide andalannya dalam acara Photo Kina International Competition di Kohn, Jerman. Majalah Vogue yang juga berskala internasional memajang karyanya pada artikel spesial tentang Indonesia. Produsen lampu Broncolor, Bron Elektronik AG dari Swiss, juga memilihnya untuk mengisi kalender Broncolor tahun di 1997
Karya Darwis di bidang fotografi juga bisa di lihat dari berbagai macam foto produk-produk untuk iklan dari berbagai produsen besar seperti Nokia, Philips, BCA, Permata Bank, Satelindo, Indofood,Sony Ericsson, Telkom, PT. Unilever, Bank Mandiri, Mustika Ratu, Sari Ayu, Warner Music, Aquarius Music, Sony Music. Darwis juga telah menghasilkan karya berupa buku mengenai fotografi seperti Kembang Setaman, Secret Lighting dan Terra Incognita Tropicale. Juga majalah Indonesian Photographer.
Darwis sering membuat seminar, dan workshop tentang fotografi. Dia juga telah mendirikan lembaga pendidikan fotografi di Jakarta Selatan. Dan memiliki studio Darwis Triadi Photography, dia juga membuka sekolah yang diberi nama Darwis Triadi School of Photography. Sebuah tempat yang merupakan salah satu impian dari Darwis, agar fotografi menjadi lebih terbuka.
http://www.darwistriadischoolofphotography.com/OUR-INSTRUCTORS_1035_22/Darwis-Triadi.html
2.
Enny Nuraheni
ibu dari Andra (18) dan Cantyka (15), memulai
perjalanannya di dunia fotografi dengan membantu kakak iparnya yang memiliki
studio foto Tanzil. Selama lima tahun ia memotret untuk dokumentasi dan membantu
iparnya mencetak foto di kamar gelap. Kebutuhannya untuk mencari tantangan baru
lah yang menyebabkan ia berhenti dari sana. Setelah lulus dari ABA (Akademi
Bahasa Asing) tahun 1986, Enny lalu melamar pekerjaan ke biro Reuters Jakarta
yang sedang membuka lowongan untuk posisi fotografer. Kala itu ia tidak
mengerti caranya melamar pekerjaan. Dengan hanya bermodalkan kamera, ia nekat
datang ke kantor Reuters. Daftar riwayat hidup (CV) tak ia bawa, apalagi
membuat janji wawancara. Di tahun 80-an kaum pria masih mendominasi dunia
fotografi. Bahkan, hanya ada dua fotografer wanita saat itu. Maka Enny sempat
kaget saat pertama kali ia turun ke lapangan. Untuk mendapatkan foto ia harus
berdesak-desakkan dengan pria yang notabene lebih besar dan kuat. Tak heran
jika foto pertamanya gagal karena goyang. Namun, berkat pengalaman ini Enny
bertekad untuk selalu fight dan tidak kalah dengan para fotografer
pria.
Selama 15 tahun pengabdiannya sebagai fotografer, Enny
banyak mendapatkan pengalaman unik. Ia pernah dimaki-maki petugas keamanan,
tidur bergantung dihammock, tidak mandi berhari-hari di daerah bencana, hingga
diberondong peluru. Namun, satu hal yang kerap membuatnya pusing adalah
menembus birokrasi pemerintah. Apalagi saat sebelum reformasi, intelijen dan keamanan
adalah dua pihak yang sulit untuk ditembus wartawan. Semenjak tahun 1993, satu
minggu sebelum melahirkan anak kedua, Enny merekrut staf baru untuk Reuters.
Sedang di 1998 ia mulai membuat jejaring di daerah. Saat ini, ia memiliki 5
anak buah di Jakarta (2 staf dan 3 stringer/kontributor, semuanya pria) dan
puluhan stringer di berbagai ibukota provinsi di seluruh Indonesia.
Sumber : http://dwiakram.blogspot.com/2013/05/kisah-enny-nuraheni-fotografer-jurnalis.html
3. Peksi cahyo
Fotografi olahraga memang sedikit berbeda dari foto
jurnalistik pada umumnya. Ia dibatasi ruang dan waktu, entah itu 2x45 menit di
lapangan sepak bola atau 4x10 menit di lapangan basket yang berukuran lebih
kecil. Dalam batasan-batasan itu, para fotografer harus menangkap gerak dan
momen yang terkadang muncul hanya sepersekian detik. Sedikit saja lengah bisa
berarti ‘petaka’.
Peksi berpendapat, bentuk arena apapun hanya bisa ditaklukkan melalui kesabaran karena tak ada yang bisa memprediksi momen yang akan terjadi. Bagi Peksi, pekerjaan fotografer olahraga bahkan hampir sama dengan atlet itu sendiri. Selain butuh kesabaran, juga perlu daya tahan yang kuat karena harus memiliki konsentrasi dan fokus yang baik.
Selanjutnya, masih menurut Peksi, penting untuk mensinkronisasi gambar yang ingin didapat dengan proses kreatif. Caranya dengan mempelajari perilaku sang pemain, paham tata letak stadion, memilih sudut tepat, hingga pemilihan lensa.
Peksi berpendapat, bentuk arena apapun hanya bisa ditaklukkan melalui kesabaran karena tak ada yang bisa memprediksi momen yang akan terjadi. Bagi Peksi, pekerjaan fotografer olahraga bahkan hampir sama dengan atlet itu sendiri. Selain butuh kesabaran, juga perlu daya tahan yang kuat karena harus memiliki konsentrasi dan fokus yang baik.
Selanjutnya, masih menurut Peksi, penting untuk mensinkronisasi gambar yang ingin didapat dengan proses kreatif. Caranya dengan mempelajari perilaku sang pemain, paham tata letak stadion, memilih sudut tepat, hingga pemilihan lensa.
Satu hal lain yang tak kalah penting adalah riset.
"Perlu, karena mengamati perilaku orang, mulai dari di dalam lapangan sampai penonton, atau perilaku The JakMania dengan suporter Persib, itu berbeda. Antara SM (Satria Muda) dan Aspac beda. Hal itu mesti dipelajari kalau benar-benar mau memadukan hati dan kepala," ucap Peksi yang berbincang dengan CNNIndonesia.com akhir pekan lalu.
Peksi mengawali kariernya sebagai foto jurnalis. Namun, pada 2003, ia memantapkan hati terjun di fotografi olahraga dengan bergabung Tabloid Bola. Itu pun terjadi secara tidak sengaja. Saat itu Peksi yang merupakan fotografer Sinar Harapan, merasa berada di titik yang memaksanya untuk mengembangkan diri. Peksi sebenarnya sudah sampai pada tahap wawancara di kantor berita EPA (European Pressphoto Agency). Namun di tengah jalan, dia mendapatkan panggilan dari Tabloid Bola. Ia pun mengubah pilihan.
"Perlu, karena mengamati perilaku orang, mulai dari di dalam lapangan sampai penonton, atau perilaku The JakMania dengan suporter Persib, itu berbeda. Antara SM (Satria Muda) dan Aspac beda. Hal itu mesti dipelajari kalau benar-benar mau memadukan hati dan kepala," ucap Peksi yang berbincang dengan CNNIndonesia.com akhir pekan lalu.
Peksi mengawali kariernya sebagai foto jurnalis. Namun, pada 2003, ia memantapkan hati terjun di fotografi olahraga dengan bergabung Tabloid Bola. Itu pun terjadi secara tidak sengaja. Saat itu Peksi yang merupakan fotografer Sinar Harapan, merasa berada di titik yang memaksanya untuk mengembangkan diri. Peksi sebenarnya sudah sampai pada tahap wawancara di kantor berita EPA (European Pressphoto Agency). Namun di tengah jalan, dia mendapatkan panggilan dari Tabloid Bola. Ia pun mengubah pilihan.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170504152522-25-212298/peksi-cahyo-dan-tiga-rahasia-fotografi-olahraga
4.
Erik Prasetya
Selepas SMA di Padang, ia melanjutkan kuliah di ITB
teknik perminyakan dan lulus dengan nilai yang menurutnya tidak begitu
memuaskan. Pun demikian, Erik sempat menggunakan gelar akademiknya sebagai
engineer di sebuah perusahaan oil services namun tidak membuatnya betah. Ia
banting stir menjadi wartawan tulis di Majalah Mingguan Mutiara (Sinar Harapan)
sebelum akhirnya menjadi fotografer lepas untuk Majalah Mingguan Tempo.
Lagi-lagi Erik tidak bisa lari dari takdirnya. Sebab, menjadi wartawan tulis dirasakan kurang produktif dan tidak sreg. Kerapkali ia perlu waktu lama untuk sekedar menulis satu atau dua artikel. Akhirnya ia mulai serius memotret kembali dan menemukan sensasi menekan shutter yang sudah ia rasakan sejak umur 10 tahun. Beberapa jepretannya ia kirimkan untuk majalah Tempo dari foto tunggal atau esai foto.
Selain sebagai fotografer lepas di Tempo, ia tetap memotret apa saja untuk mengamankan kebutuhan finansial sehari-hari. Itu ia lakukan dengan tetap memotret pernikahan, iklan atau pabrik. Sampai pada suatu titik ia bosan karena sebatas rutinitas saja dan sekedar kompromi dengan selera klien. Berbekal ambisi dan insting fotografi, ia mulai memotret perubahan Tahmrin-Sudirman sejak tahu 1990. Ia tidak bakal menyangka bakal menjadi proyek super panjang hingga 20 tahun kemudian. Buku tersebut kemudian berlanjut dalam seri yang beragam namun masih dalam seri streetphotography. Beberapa dibuat lebih mudah dengan seri tutorial atau tips dan trik memotret jalanan.
Lagi-lagi Erik tidak bisa lari dari takdirnya. Sebab, menjadi wartawan tulis dirasakan kurang produktif dan tidak sreg. Kerapkali ia perlu waktu lama untuk sekedar menulis satu atau dua artikel. Akhirnya ia mulai serius memotret kembali dan menemukan sensasi menekan shutter yang sudah ia rasakan sejak umur 10 tahun. Beberapa jepretannya ia kirimkan untuk majalah Tempo dari foto tunggal atau esai foto.
Selain sebagai fotografer lepas di Tempo, ia tetap memotret apa saja untuk mengamankan kebutuhan finansial sehari-hari. Itu ia lakukan dengan tetap memotret pernikahan, iklan atau pabrik. Sampai pada suatu titik ia bosan karena sebatas rutinitas saja dan sekedar kompromi dengan selera klien. Berbekal ambisi dan insting fotografi, ia mulai memotret perubahan Tahmrin-Sudirman sejak tahu 1990. Ia tidak bakal menyangka bakal menjadi proyek super panjang hingga 20 tahun kemudian. Buku tersebut kemudian berlanjut dalam seri yang beragam namun masih dalam seri streetphotography. Beberapa dibuat lebih mudah dengan seri tutorial atau tips dan trik memotret jalanan.
Sumber : https://inet.detik.com/fotostop-news/d-2948327/erik-prasetya-sang-pelopor-streetphotography-tanah-air
5. Arbain Rambey
Pria dengan rambut cepak dan
kaca mata berbingkai hitam ini sudah tidak diragukan lagi kemampuan menulis dan
fotografi. Lahir di Semarang, 2 Juli 1961, Arbain Rambey mulai memotret pada
tahun 1977 bersama teman-temannya di SMA Loyola 1, Semarang. Mengenyam
pendidikan yang tidak berhubungan dengan dunia jurnalistik. Arbain lulus dan menjadi
sarajana Teknik Sipil dari Institut Teknologi Bandung tahun 1988.
Setelah lulus, Arbain bekerja
sebagai reporter dan fotografer. Keahliannya dalam bidang fotografi juga lah
yang mengantarkan ia menjadi redaktur foto Kompas menggantikan Kartono Riyadi
pada tahun 1996.
Arbain yang merupakan anak
tunggal lahir dan tumbuh di Semarang dan tinggal bersama bibinya karena kedua
orang tuanya harus bekerja. Ketertarikan Arbain dalam dunia fotografi rupanya
sudah terlihat sejak masa kanak-kanak. Sejak umur 5 tahun, Arbain mulai
tertarik dengan album foto, membolak-balik album foto menjadi kegemaran Arbain
kecil pada saat itu. Pada usia 13 tahun Arbain sudah menguasai teknik cuci dan
cetak foto hitam putih. Kamera pertamanya bermerek Ricoh dengan tipe 500 GX ia
dapatkan pada tahun 1977.
Sebagai wartawan fotografer
handal, Arbain tentunya memiliki segudang prestasi, baik di tingkat nasional
maupun internasional. Beberapa prestasi yang telah diperoleh Arbain, antara
lain Juara Tunggal Festival Seni Internasional Art Summit 1999, memenangkan
medali perunggu 2 tahun berturut-turut pada Lomba Salon Foto tahun 2006 dan
2007, serta Juara 1 lomba foto MURI tahun 2008.
Arbain juga pernah
beberapa kali mengadakan pameran foto, seperti Ekspresi (Medan, 2002),
Mandailing (Medan, 2002), Senyap (Bentara Budaya, Jakarta, 2004), Colour of
Indonesia (Galeri Cahaya, Jakarta, 2004), Crossing Bridges (Singapura, 2004),
Persatoen (Melbourne, 2005), Nusantara (bersama Makarios Soekojo) (Hotel Aston,
Jakarta, 2006).
Kegiatan Arbain sekarang lebih
banyak berupa mengajar. Ia mengajar di beberapa universitas swasta di Jakarta
seperti Universitas Pelita Harapan, Universitas Media Nusantara, dan Darwis
School of Photography.
Ketika duduk di bangku SMA,
Arbain Rambey mengikuti berbagai kegiatan pecinta alam. Ia gemar mendaki gunung
bersama teman-temannya. Saat itu, ia kurang puas melihat foto hasil jepretan
teman-temannya. Akhirnya ia yang kemudian banyak memotret sambil mendaki
gunung. Setelah lulus SMA, Arbain melanjutkan kuliah di Institut Teknologi
Bandung (ITB). Kala itu ia punya hobi lain, yaitu jalan-jalan. Dari situlah ia
mulai lebih banyak memotret meskipun hanya memakai kamera orang. “Kameraku
jelek waktu itu,” tuturnya.
Tahun 1988, setelah lulus
kuliah, Arbain mulai bekerja di Papua. Sebulan setelah bekerja, ia membeli
kamera pertamanya, Nikon F-301 dengan lensa 3515, seharga Rp 750.000. Masih
diingatnya toko tempat ia membeli kamera itu, yakni di Niaga Foto Bandung. Selama
di Papua, teman-temannya sering jalan-jalan. Semua kegiatan jalan-jalan ia
abadikan dengan kamera itu. Hingga kemudian hasil fotonya mrndapat komentar
positif oleh seorang wartawan Tempo saat Arbain berkesempatan pameran di Eropa
dan Amerika. “Kamu bukan insinyur, tapi fotografer,” komentar wartawan
tersebut.
Itu adalah kali pertama ada
orang yang mengatakan fotonya bagus. Profesinya sebagai insinyur pun menurutnya
tidak cukup baik. Hal itu mendorongnya untuk melamar menjadi fotografer di
harian Kompas pada tahun 1990. Diterima di Kompas, Arbain dibimbing oleh para
senior yang banyak membawa kemajuan dalam karirnya.